Pengertian
Ilmu Fiqih
Firman Allah dalam QS At Taubah [9] : 123;
“Maka apakah tidak lebih baik dari
tiap-tiap kelompok segolongan manusia untuk ber “tafaqquh”
(memahami fiqih) dalam urusan agama dan untuk memberi peringatan kaumnya bila
mereka kembali; mudah-mudahan kaumnya dapat berhati-hati (menjaga batas
perintah dan larangan Allah).”
Hadits Nabi
:
“Barangsiapa dikehendaki oleh Allah akan diberikannya
kebajikan dan keutamaan, niscaya diberikan kepadanya “ke-faqih-an”
(memahami fiqih) dalam urusan agama.” (HR. Bukhari-Muslim).
Ilmu fiqih
adalah ilmu untuk mengetahui hukum Allah yang berhubungan dengan segala amaliah
mukallaf baik yang wajib, sunah, mubah, makruh atau haram yang digali dari
dalil-dalil yang jelas (tafshili).
Produk ilmu
fiqih adalah “fiqih”. Sedangkan kaidah-kaidah istinbath (mengeluarkan) hukum
dari sumbernya dipelajari dalam ilmu “Ushul Fiqih”.
II. Perkembangan
Ilmu Fiqih
A. Masa Nabi
Nabi Muhammad SAW adalah seorang Rasul yang makshum (terpelihara dari dosa
dan kesalahan). Beliau menerima wahyu dari Allah serta semua perbuatan, ucapan,
taqrir dan himmahnya adalah kebenaran yang menjadi hukum dan diikuti oleh
umatnya.
Dalam masa Nabi wahyu Al-Qur’an masih terus turun susul-menyusul. Wahyu
yang turun kadang-kadang merupakan jawaban atau solusi masalah yang sedang
terjadi pada diri Nabi dan para sahabatnya.
Dalam urusan duniawi, peperangan, siasat politik, muamalah dan yang
semacamnya kadang Nabi juga bermusyawarah dengan para sahabat, terkadang juga
Nabi menerima usulan dan masukan dari para sahabat, bahkan kadang Nabi
meninggalkan pendapatnya sendiri.
Pada peristiwa perang Badar, Rasulullah memerintahkan pasukan Islam untuk
mengambil posisi di suatu tempat, tetapi perintah Nabi itu disanggah oleh salah
seorang sahabat yang mengusulkan agar pasukan kaum Muslimin mengambil posisi
didepan sumber mata air dan ternnyata usulan itu diterima dan dilaksanakan oleh
Nabi.
Beberapa penduduk Madinah ada yang berusaha mengawinkan pohon kurma untuk
memperoleh buah yang lebih banyak. Melihat itu Nabi melarang mereka mengawinkan
serbuk sari pohon kurma, maka penduduk Madinah mentaati larangan Rasulullah
tersebut. Ternyata pada tahun itu pohon-pohon kurma tidak menghasilkan buah.
Lalu Nabi mengijinkan lagi mengawinkan serbuk sari pohon kurma, seraya bersabda
“Kamu lebih mengetahui urusan duniamu”.
Pada waktu perang Khaibar para sahabat menyalakan api dibawah periuk.
Melihat itu kemudian Nabi bertanya : “Apa yang sedang kalian masak dalam periuk
itu ? “ Sahabat menjawab : “Daging keledai jinak”. Nabi kemudian berkata :
“Buang isi perikuk itu dan pecahkan periuknya”. Salah seorang sahabat berdiri
dan berkata : “Bagaimana kalau kami membuang isinya dan kami mencuci periuknya
?” Nabi menjawab : “Seperti itupun boleh”.
Jadi dalam hal-hal yang bukan merupakan esensi pokok-pokok syariat agama,
keputusan Nabi tidaklah otoriter, masih mempertimbangkan musyawarah dan
kemaslahatan.
Para sahabat Nabi terkadang juga melakukan perbuatan “ijtihad pribadi” maka
tindakan mereka itu ada yang disetujui Nabi, disalahkan kemudian Nabi
memberitahukan yang benar atau Nabi memberi komentar terhadap ijtihad para
sahabatnya. Terkadang diantara para sahabat Nabi terjadi perbedaan pendapat
mengenai suatu masalah, maka merekapun datang kepada Nabi dan menanyakan masalah
tersebut maka Nabi memberitahukan hukumnya. Contohnya adalah sebagai berikut :
- Dalam
perang Zatu al Salasil (perang musim dingin) ‘Amr bin
Ash mengalami mimpi junub. Akan tetapi ‘Amr bin Ash takut mandi karena
hawanya sangat dingin, kemudian ia hanya ber tayamum dan melakukan shalat
subuh. Disaat ijtihad ‘Amr bin Ash itu sampai kepada Nabi, maka beliau
bertanya kepada ‘Amr bin Ash : “(Benarkah) kamu shalat bersama sahabat
kamu,sedangkan kamu berada dalam keadaan junub ?” maka ‘Amr bin Ash
menjawab : “Aku mendengar Allah berfirman :
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu,
sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepada dirimu.” (QS An-Nisa : 29)
Mendengar jawaban itu Nabi hanya tersenyum dan tidak memberi komentar
apa-apa. Hal itu merupakan taqrir beliau yang menunjukkan persetujuannya.
- Dalam
suatu perjalanan, Umar bin Khattab dan ‘Ammar bin Yasir sama-sama dalam
keadaan junub. Pada saat itu mereka tidak mendapatkan air untuk mandi
besar, sementara waktu shalat telah tiba. ‘Ammar ber-ijtihad dengan meng
qiyas kan air dengan debu, maka ‘Ammar
berguling-guling diatas tanah. Sementara Umar bin Khattab tidak ber
tayamum yang menurutnya hanya menghilangkan hadas kecil dan memilih untuk
menunda shalat.
Maka tatkala keduanya melaporkan apa yang mereka lakukan, Nabi menyatakan
bahwa kedua ijtihad itu keliru. Nabi mengatakan bahwa yang benar adalah mereka
cukup dengan tayamum biasa tanpa harus berguling-guling ke tanah dan tayamum
itu juga bisa menghilangkan hadas besar dalam keadaan darurat.
- Bani
Quraidhah adalah orang-orang Yahudi penduduk Madinah yang terikat
perjanjian persekutuan dengan kaum Muslimin untuk saling membantu bila
Madinah diserang musuh. Pada saat perang Ahzab (Khondaq), Yahudi Bani
Quraidhah melakukan pengkhianatan berusaha membantu musuh yang mengepung kota Madinah. Setelah kaum pengepung
diporak-porandakan oleh badai gurun yang dahsyat dan peperangan pun
selesai, Allah memerintahkan Nabi mengepung Bani Quraidhah. Untuk itu nabi
bersabda : “Jangan ada diantara kalian yang melakukan shalat Ashar kecuali
di perkampungan Bani Quraidhah”. Sekelompok sahabat Nabi memahami sabda
Nabi tersebut berdasarkan mantuq (makna lahirnya) maka mereka bergegas
pergi dan bahkan menunda shalat ashar. Sebagian sahabat yang lain memahami
sabda Nabi diatas berdasarkan mafhum (makna tersirat) yaitu boleh
melakukan shalat Ashar tepat waktu, baru setelah itu harus segera bergegas
menuju ke perkampungan Bani Quraidhah. Ternyata Nabi membenarkan kedua
pemahaman tersebut.
Jadi pada masa Nabi semua masalah dan perbedaan pendapat dapat diketahui
hukumnya yang seharusnya berdasarkan keputusan akhir dari Nabi yang masih ada
ditengah-tengah para sahabat.
B. Masa Khulafaur Rasyidin
Khalifah Abu Bakar ketika mendapati masalah yang belum diketahui status
hukumnya, maka beliau mengumpulkan fukaha dari kalangan para sahabat dan
menanyakan apa ada yang mengetahui hadits Nabi tentang masalah tersebut. Bila
ada yang menyampaikan hadits Nabi maka Khalifah Abu Bakar memutuskan hukumnya
berdasarkan hadits tersebut, tetapi bila tidak ada hadits maka Khalifah Abu
Bakar bermusyawarah menentukan keputusan berdasarkan kesepakatan dengan para
sahabat.
Khalifah Umar pun mengikuti cara yang dilakukan oleh Abu Bakar. Pada masa
dua khalifah pertama yaitu Abu Bakar dan Umar, para sahabat Nabi
semuanya masih berada di Kota Madinah, maka kesepakatan para
sahabat pada masa khalifah Abu Bakar dan Umar ini menjadi Ijma’ yang mutlak
dapat dijadikan hujjah dan wajib diikuti oleh seluruh kaum muslimin.
Pada masa Khalifah Usman bin Affan sebagian sahabat besar baru bertebaran
keluar dari kota Madinah dengan tujuan
mengajarkan agama pada kota-kota yang telah ditaklukkan oleh kaum muslimin.
Pada masing-masing kota yang didiami, para
sahabat besar mengajarkan agama sesuai dengan kapasitasnya masing-masing yang
akhirnya disetiap kota besar menghasilkan para
ulama dan mujtahid dari generasi tabi’in dan tabi’it-tabi’in.
Pada masa Khalifah Ali bin Abu Thalib bahkan beliau memindahkan pusat
pemerintahannya dari Madinah ke Kufah. Pada masa pemerintahan Ali pula mulai
terjadi perang pertumpahan darah diantara sesama kaum Muslimin, yaitu perang
Jamal, perang Shiffin dan perang Nahrawand.
Jumhur ulama berpendapat bahwa kebijaksanaan dan keputusan hukum Khulafaur
Rasyidin dapat dijadikan hujjah, berdasarkan Hadits Nabi :
“Ikutilah jejak dua orang sepeninggalku,
(yaitu)Abu Bakar dan Umar.” (HR Tirmidzi, Thabarani, Hakim)
“Maka bahwasanya siapa yang hidup (lama)
diantara kamu niscaya akan melihat perselisihan (faham) yang banyak. Ketika itu
pegang teguhlah Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang diberi hidayah.” (HR. Abu Dawud).
Disamping empat orang Khulafaur Rasyidin, para fuqaha sahabat besar juga
ada yang dikenal sebagai mufti dan memberi fatwa hukum. Perkataan sahabat (qaul
sahabi) yang tidak disandarkan berasal dari Nabi disebut hadits mauquf.
Sahabat Nabi adalah generasi Islam yang
terbaik. Mereka diridhoi oleh Allah pada beberapa ayat Al-Qur’an dan diridhoi
oleh Nabi dalam beberapa hadits.
Firman Allah dalam QS At-Taubah : 100 :
“Orang-orang
yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang Muhajirin
dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha
kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah.”
Hadits Nabi :
“Saya adalah kepercayaan sahabatku, sedang
sahabatku adalah kepercayaan sekalian umatku.”
Para Sahabat itu para murid yang
ditarbiyah (dididik) langsung oleh Nabi. Mereka mengetahui latar belakang
turunnya ayat Al-Qur’an (asbabun nuzul), mengetahui latar belakang timbulnya
hadits (asbabul wurud), terbukti jihadnya, lebih bersih hatinya, lurus
manhajnya dan paling besar jasanya kepada Islam. Maka pendapat sahabat itu
sangat layak untuk dijadikan rujukan dan diikuti.
Diantara Fukaha (ahli Fiqih) Sahabat besar selain empat orang Khulafaur
Rasyidin yang dikenal banyak memberi fatwa adalah :
- Abdullah
Ibnu Abbas, mengembangkan perguruannya di Mekkah.
- Abdullah
Ibnu Mas’ud, mengembangkan perguruannya di Kufah.
- Abdullah
Ibnu Umar, mengembangkan perguruannya di Madinah.
- Abdullah
bin ‘Amr bin Ash, mengembangkan perguruannya di Mesir.
- Muadz
bin Jabal, mengembangkan perguruannya di Damaskus (Syria).
- Zaid
bin Tsabit, mengembangkan perguruannya di Madinah.
- Aisyah,
Ummul Mukminin
- Abu
Hurairah, sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits Nabi.
- Abu
Darda’, mengembangkan perguruannya di Basrah.
10. Abu Musa Al-Asy’ari, mengembangkan
perguruannya di Basrah.
11. Ubay bin Ka’ab, pernah menjadi Hakim
Khalifah Umar di Basrah.
Karakteristik Ijtihad masa Sahabat :
1. Dengan musyawarah
diantara ahlul hal wal aqd, yaitu para Khalifah (penguasa) dan para fuqaha
(ahli fiqih) sahabat besar.
2. Patuh dan tidak
menyelisihi keputusan Amir.
3. Tidak berfatwa untuk
sesuatu yang belum terjadi.
Atsar dari Masruq yang bertanya kepada Ubay bin Ka’ab
tentang sesuatu hal, maka Ubay bin Ka’ab menjawab :
“Apakah hal itu telah terjadi ?” Aku
menjawab : “Belum”. Ia mengatakan : “Kita tangguhkan (tunggu) sampai hal itu
terjadi. Apabila hal itu telah terjadi, kami akan berijtihad untuk kamu dengan
pendapat kami”.
4. Toleran
Ath-Thabari meriwayatkan atsar bahwa Umar
bin Khattab bertemu dengan seorang laki-laki yang sedang mempunyai kasus, lalu
Umar bertanya padanya : “Apa yang engkau perbuat ?” Orang itu menjawab : “Aku
dihukumi demikian, oleh Ali dan Zaid”. Umar berkata : “Kalau aku, tentu aku
akan menghukumi demikian”. Lelaki itu berkata : “Apa yang menghalangimu,
sedangkan urusan itu ada padamu ?” Umar menjawab : “Kalau aku mengembalikanmu
kepada Kitabullah dan Sunnah, tentu aku lakukan. Tetapi aku mengembalikanmu
pada ra’yu (ijtihad akal), sedangkan ra’yu itu musytarak (lebih dari satu
pendapat) dan aku tidak tahu pendapat mana yang benar menurut Allah. Maka tidak
kurang nilainya apa yang dikatakan oleh Ali dan Zaid”.
5. Menjauhi pembahasan
ayat-ayat Mutasyabih. Khalifah Umar bin Khatab pernah mencambuk orang yang suka
membahas ayat-ayat mutasyabih.
C. Masa Tabi’in
Para tabi’in adalah murid-murid langsung dari para sahabat Nabi. Pada masa
tabi’in mereka melakukan dua peranan penting, yaitu :
1. Mengumpulkan riwayat hadits dan fatwa sahabat.
2. Ber ijtihad untuk masalah-masalah yang belum diketahui pendapat dari
sahabat.
Para tabi’in di tiap-tiap kota mengembangkan ijtihadnya berdasarkan
pengajaran dan methode guru mereka masing-masing dari kalangan sahabat Nabi.
Mufti dan Fuqaha di Madinah
- Said
bin Al Musayyab
- Urwah
bin Zubair
- Al-Qasim
bin Muhammad bin Abu Bakar Shidiq
- Kharijah
bin Zaid bin Tsabit
- Abu
Bakar bin Abdurrahman
- Sulaiman
bin Yasar
- Ubaidillah
bin Abdullah
Mufti dan Fuqaha di Mekkah :
- Atha’
bin Abi Rabah
- Thawus
bin Kisan
- Mujahid
bin Jabar
- Ubaid
bin Umar
- Amru
bin Dinar
- Ikrimah
maula Ibnu Abbas
Mufti dan Fuqaha di Basrah :
- Amru
bin Salamah
- Abu
Maryam al-Hanafy
- Ka’ab
bin Sud
- Hasan
Al Basri
- Muhammad
bin Sirin
- Muslim
bin Yasar
Mufti dan Fuqaha di Kufah :
- Alqamah
bin Qais An-Nakhaiy
- Masruq
bin Al Ajda; Al Hamdany
- Syuraih
al Qadhy
- Abdullah
bin Utbah bin Mas’ud al-Qadly.
- Rabi’
bin Khutsam.
Mufti dan Fuqaha di Mesir :
- Yazid
bin Abi Habib
- Bakir
bin Abdillah
- Amru
bin Al-Harits
Mufti dan Fuqaha di Yaman :
- Mutharrif
bin Mazin al-Qadly.
- Abdul
Raziq bin Hamman
- Hisyam
bin Yusuf
- Muhammad
bin Tsur
- Samak
bin Al-Fadhl
Mufti dan Fuqaha di Baghdad :
- Abu
‘Ubaid Al-Qasim bin Salam
- Abu
Tsur Ibrahim bin Khalid al Kalby
Mufti dan Fuqaha di Andalusia :
- Yahya
bin Yahya
- Abdul
Malik bin Habib
- Baqi
bin Makhlad
- Qasim
bin Muhammad
- Maslamah
bin Abdul Aziz Al Qadly
Fuqaha Tujuh (Fuqaha al-sab’ah)
Mereka adalah para tabi’in yang dikenal sebagai imam ahli Fiqih (Fuqaha),
yaitu :
- Said
bin Al-Musayyab (15 – 93 H), menantu sahabat Nabi Abu Hurairah. Ahli
hadits, paling mengetahui keputusan hukum Abu Bakar dan Umar, guru Ibnu
Syihab Az Zuhry.
- ‘Urwah
bin Zubair (wafar 94 H), keponakan Aisyah Ummul Mukminin.
- Abu
Bakar bin ‘Ubaid bin Al Harits bin Hisyam Al Makzumi (wafat 94 H).
- Al-Qasim
bin Muhammad bin Abu Bakar Shidiq (wafat 94 H).
- ‘Ubaidillah
bin Utbah bin Abdullah bin Mas’ud (wafat 99 H), guru Umar bin Abdul Azis.
- Sulaiman
bin Yasar (34-100 H), meriwayatkan hadits dari Zaid bin Tsabit, Abdullah
bin Umar, Abu Hurairah, Aisyah, Maimunah dan Ummu Salamah.
- Kharijah
bin Zaid bin Tsabit, ahli fiqih dan menguasai ilmu faraidh
(warisan).
D. Masa Tabi’t Tabi’in dan Imam Mazhab.
Mufti dan Fuqaha di
Mekkah :
Di mekkah terdapat
Muslim bin Khalid Al Zanji, Sa’id bin Salim Al-Qadah, Abdullah bin Zubair al
Humaidy, Musa bin Abi Jarud dan Muhammad bin Idris Asy Syafi’i.
Mufti dan Fuqaha di
Madinah :
Ibnu Sihab Az Zuhri,
Abdurrahman bin Hurmuz, Malik bin Anas.
Mufti dan Fuqaha di
Basrah :
Abdul Wahab bin Majid
Ats Tsaqafy, Said bin abi ‘Arubah, Hammad bin Salamah, Ma’mar bin Rasyid.
Mufti dan Fuqaha di
Kufah :
Ibnu Abi Layla, Abdullah
bin Syubramah, Syarikh Al Qadly, Sufyan Tsauri, Muhammad Al Hasan Asy Syaibany,
Abu Yusuf Al Qadly, Abu Hanifah
Mufti dan Fuqaha di
Baghdad :
Abu Tsur Ibrahim bin
Khalid Al Kalbi.
Mufti dan Fuqaha di Syam
Yahya bin Hamzah Al
Qadly, ‘Amru Abdurrahman bin ‘Amru Al Auzay, Abu Ishaq Al Farazy Ibnu Mubarak.
Mufti dan Fuqaha di
Mesir :
Abdullah bin Wahbin, Al
Muzny, Ibnu Abdul hakam, Muhammad bin Idris Asy Syafi’i.
Imam
Abu Hanifah (80-150 H)
Nama lengkapnya adalah Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit, lahir tahun 80 H
di kota Kufah pada masa pemerintahan dinasti Bani
Umayyah. Beliau lebih populer dipanggil Abu Hanifah. Kakeknya seorang Persia beragama Majusi. Hanifah dalam bahasa Iraq berarti tinta. Ini karena beliau banyak
menulis dan memberi fatwa.
Abu Hanifah pada mulanya adalah seorang pedagang yang sering pulang-pergi
ke pasar. Hingga suatu ketika beliau bertemu dengan Sya’bi yang melihat bakat
kecerdasan Abu Hanifah dan menyarankannya agar banyak menemui ulama mempelajari
agama. Nasehat Syabi’ berkesan di hati Abu Hanifah, kemudian beliaupun banyak
berguru kepada para ulama.
Imam Abu Hanifah mendapatkan hadits dari Atha’ bin Abi Rabah, Abu Ishaq As
Syuba’I, Muhib bin Disar, Haitam bin Hubaib Al Sarraf, Muhammad bin Mukandar,
Nafi Maula Abdullah bin Umar, Hisyam bin urwah dan Samak bin Harb. Beliau
mempelajari Fiqih dari Hammad bin Sulaiman, mempelajari qiraat dari Imam ‘Ashim
(salah satu qurra’ tujuh). Beliau seorang hafidz (hafal Al-Qur’an), pada bulan
Ramadhan mengkhatamkan Al-Qur’an 60 kali.
Imam Syafi’i berkata : “Semua kaum muslimin berhutang budi pada Abu
Hanifah, Imam Abu Hanifah itu bapak dan para ahli Fiqih itu anak-anaknya.”
Imam Malik berkata : “Subhanallah, saya tidak pernah melihat orang seperti
dia, andaikan dia mengatakan bahwa tiang ini terbuat dari emas, tentu ia akan
dapat membuktikannya melalui Qiyasnya.”
Mengenai metode Ijtihadnya, Imam Abu Hanifah pernah berkata : “Saya
mengambil Kitabullah (Al-Qur’an) jika saya mendapatkannya. Hal yang tidak saya
jumpai dalam Al-Qur’an akan saya ambil dari Sunnayh Rasulullah SAW, dari
riwayat yang shahih dan populer dikalangan orang-orang kepercayaan. Jika saya
tidak mendapatkannya dalam Al-Qur’an dan Sunnah, saya akan mengambil fatwa para
sahabatnya sesuka saya dan membiarkan yang lain. Setelah itu saya tidak akan
keluar dalam fatwa selain mereka. Jika telah sampai kepada Ibrahim, Sya’bi,
Ibnu Sirin, Ibnu Musayyab dan lainnya, maka saya ber-ijtihad sebagaimana mereka
juga ber-ijtihad.
Fudail bin Iyadh mengatakan : “Jika ada masalah didasarkan pada hadits yang
shahih sampai kepada Abu Hanifah, pasti dia akan mengikutinya. Begitu juga dari
sahabat dan tabi’in. Kalau tidak, dia akan menggunakan qiyas dengan cara yang
sangat baik”.
Al-Dabussi dalam kitab Ta’sis al-Nazhar menyebutkan : “Abu Hanifah suka
pada kebebasan berpikir. Ia seringkali memberikan kepada sahabat dan
murid-muridnya untuk mengajukan keberatan-kebaratan atas ijtihadnya. Imam Abu
Hanifah dalam mempelajari suatu masalah menukik dalam sampai ke akar
permasalahan. Beliau memahami inti hakikat (lubb al-haqa’iq), memahami isi dan
misi yang terdapat dibelakang nash-nash itu dalam bentuk illat-illat dan
hukum-hukum.”
Imam Abu Hanifah berkata : “Perumpamaan orang yang mempelajari hadits,
sedangkan ia tidak memahami, sama halnya dengan apoteker yang mengumpulkan
obat, sementara ia tak tahu persis untuk apa obat itu digunakan, akhrinya
dokter datang….demikianlah kedudukan penuntut hadits yang tidak mengenal wajah
haditsnya, sehingga hadirnya fiqih”.
Imam Abu hanifah dikenal teguh hati dan kokoh dalam pendirian. Beliau
pernah mengalami dua kali masa ujian. Pertama pada masa pemerintahan Marwan bin
Muhammad (Khalifah terakhir Bani Umayyah), Ibnu Hubairah (gubernur Iraq) menunjuk Imam Abu Hanifah menjadi qadly, namun pengangkatan itu
ditolak oleh Imam Abu Hanifah. Maka Imam Abu Hanifah dipukul sampai empat belas
kali sebagai hukuman karena dianggap tidak mendukung pemerintahan Bani Umayyah.
Ujian kedua dialami pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al Manshur dinasti
Abbasyah. Kasusnya hampir sama, karena Imam Abu Hanifah menolak diangkat
menjadi Qadly oleh Khalifah Al Manshur. Beliau dipenjara dan disiksa dalam
penjara.
Beliau juga dicurigai mendukung gerakan kaum Alawiyin yang dituduh berusaha
memberontak terhadap kekuasaan Bani Abbas. Akhirnya Imam Abu Hanifah meninggal
karena diracun dalam penjara. Pada tahun 150 H, bersamaan dengan meninggalnya
Imam Abu Hanifah, lahir Imam Syafi’i.
Metode Ijtihad Imam Abu
Hanifah :
- Al-Qur’an
- Hadits
dari riwayat kepercayaan.
- Ijma’
- Fatwa
Shabat
- Qiyas
- Istihsan
(keluar dari qiyas umum karena ada alasan yang lebih kuat).
- Urf
(kebiasaan yang baik dalam tata-pergaulan, muamalah dikalangan manusia)
Imam Abu Hanifah adalah orang pertama yang meletakkan dasar-dasar
kodifikasi ilmu Fiqih, pemikiran-pemikiran beliau kemudian ditulis dan
dibukukan oleh sahabat sekaligus murid-muridnya seperti Abu Yusuf Al Qadhy dan
Muhammad bin Al Hasan Asy Syaibani.
Fiqih mazhab Hanafi mewakili aliran Kufah, menggunakan porsi ra’yu (Qiyas)
lebih banyak dibandingkan aliran Hijaz yang lebih banyak menggunakan
hadits/atsar.
Kitab-kitab kumpulan fatwa mazhab Hanafi :
Tentang Masailul Ushul :
1. Al-Mabshuth, karya :
Muhammad bin Al Hasan.
2. Al-Jami’us Shaghir,
karya : Muhammad bin Al Hasan.
3. Al-Jami’ul Kabir, karya
: Muhammad bin Al Hasan.
4. As-Sairus Shaghir, karya
: Muhammad bin Al Hasan.
5. AS-Sairus Kabir, karya :
Muhammad bin Al Hasan.
6. Az-Zidayat, karya :
Muhammad bin Al Hasan.
7. Al-Kafi, karya : Abdul
Fadha’ Hammad bin Ahmad.
8. Al-Mabshuth, karya :
Muhammad bin Muhammad bin Sahl.
Tentang Masailul Nawadhir :
1. Dhahirur Riwayah, karya
: Muhammad bin Al Hasan.
2. Haruniyat, karya : Muhammad
bin Al Hasan.
3. Jurjaniyat, karya :
Muhammad bin Al Hasan.
4. Kisaniyat, karya :
Muhammad bin Al Hasan.
5. Al-Mujarrad, karya :
Hasan bin Ziad.
Tentang Fatwa wal Waqi’at :
1. An Nawazil, karya : Abdul Laits As Samarqandi.
Tentang Akidah dan Ilmu Kalam :
1. Fiqhul Akbar, diriwayatkan oleh Abi Muthi’ Al Hakam.
Imam
Malik bin Anas (93-179 H)
Nama lengkapnya Malik bin Anas bin Malik bin Abu Amir bin Amir al-Asbahi al
Madani. Beliau dilahirkan di Madinah tahun 93 H. Sejak muda beliau sudah hafal
Al-Qur’an dan sudah nampak minatnya dalam ilmu agama.
Imam Malik belajar
hadits kepada Rabi’ah, Abdurrahman bin Hurmuz, Az-Zuhry, Nafi’ Maula Ibnu Umar. Belajar Fiqih kepada Said bin Al Musayyab,
Urwah bin Zubair, Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Shidiq, Abu Salamah,
Hamid dan Salim secara bergiliran. Belajar qiraat kepada Nafi’ bin Abu Nu’man.
Ibnu Al-Kasim berkata : “Penderitaan Malik selama menuntut ilmu sedemikian
rupa, sampai-sampai ia pernah terpaksa harus memotong kayu atap rumahnya,
kemudian di jual kepasar”.
Imam malik sangat
memulikan ilmu dan menghormati hadits Nabi. Imam Malik tidak mau mempelajari
hadits dalam keadaan berdiri. Beliau juga tidak mau menaiki kuda di kota Madinah karena beliau malu berkuda diatas kota yang dibawah tanahnya ada makam Rasulullah
SAW.
Ibnu Abdu Al-Hakam
mengatakan : “ Malik sudah memberikan fatwa bersama-sama dengan gurunya Yahya
bin Sa’ad, Rabiah dan Nafi’, meskipun usianya baru berusia 17 tahun. Beliau
dikenal jujur dalam periwayatannya.
Abu Dawud mengatakan :
“Hadits yang paling shahih adalah yang diriwayatkan oleh Malik dari Nafi’ dari
Ibnu Umar. Sesudah itu adalah hadits dari Malik dari Az Zuhry dari Salim dari
ayahnya. Beriktnya adalah hadits dari Malik dari Abu Zanad dari ‘Araj dari Abu
Hurairah. Hadits mursal Malik lebih shahih dari pada hadits mursal Said bin Al
Musayyab atau Hasan Al Basri.”
Sufyan mengatakan : “Jika Malik sudah mengatakan ‘balaghny’ telah sampai
kepadaku, niscaya isnad hadits tersebut kuat”.
Imam Syafi’i mengatakan : “Jika engkau mendengar suatu hadits dari Imam
Malik, maka ambillah hadits itu dan percayalah”.
Imam Malik juga dikenal
sangat hati-hati dalam masalah hukum halal-haram. Imam Abdurrahman bin Mahdy
meriwayatkan : “Kami pernah disamping Imam Malik, ketika itu datang seorang
laki-laki kepada beliau lalu berkata : ‘Dari perjalanan yang menghabiskan
tempoenam bulan lamanya, para kawanpenduduk dikampung saa membawa suatu masalah
kepadaku untuk ditanyakan kepada engkau”. Imam Malik berkata : “Bertanyalah”.
Orang tadi lalu menyampaikan pertanyaan kepada beliau dan beliau hanya menjawab
: “aku tidak memandangnya baik”. Orang itu terus mendesak karena menginginkan
Imam Malik lebih tegas memfatwakan hukumnya, “Bagaimana nanti kalau kau ditanya
orang di kampungku yang menyuruh aku datang kemari, bilamana aku telah pulang
kepada mereka ?” Imam Malik berkata : “Katakan olehmu bahwa aku Malik bin Anas
mengatakan tidak menganggapnya baik”. Artinya beliau sangat hati-hati, tidak
gegabah menghukumi haram bila tidak ada dalil nash yang tegas
mengharamkannya.
Imam Malik dipandang
ahli dalam berbagai cabang ilmu, khususnya ilmu hadits dan fiqih. Tentang
penguasaannya dalam hadits, beliau sendiri pernah mengatakan : “Aku telah
menulis dengan tanganku sendiri 100.000 hadits”. Beliau mengarang kitab hadits
Al-Muwatta’, merupakan kitab hadits tertua yang sampai kepada kita.
Pada masa pemerintahan
Khalifah Abu Ja’far Al Manshur beliau pernah memberi fatwa bahwa “akad orang
yang dipaksa itu tidak syah”. Fatwa ini tidak disukai oleh pemerintah karena
bisa membawa konsekuensi juga bahwa baiat kepada penguasa karena terpaksa
adalah juga tidak syah dan itu dianggap membahayakan kekuasaan Bani Abbas.
Gubernur Madinah, Ja’far
bin Sulaiman memerintahkan agar Imam Malik mencabut fatwanya, namun Imam Malik
menolak. Akibatnya gubernur memukulnya sampai 80 kali sampai tulang belikatnya
retak dan mengaraknya diatas kuda keliling kota Madinah. Sejak itu namanya bukannya menjadi cemar, justru makin melambung dan harum dimata umat.
Pada masa pemerintahan
Khalifah Harun Al Rasyid, beliau meminta Imam Malik agar datang ke Baghdad dan mengajarkan Al Muwatta’ untuk keluarga
istana, maka Imam Malik berkata , “ Ilmu itu didatangi bukan sebaliknya”.
Akhirnya Khalifah Harun Al Rasyid bersama dua anaknya Al Ma’mun dan Al Amin
datang ke Madinah untuk belajar kitab Al Muwatta’.
Khalifah Harun Al Rasyid
pernah berkata : “Aku akan menggiring manusia kepada kitab Al Muwatta’
sebagaimana Usman menggiring pada Mushaf Al-Qur’an”. Keinginan Khalifah
tersebut dijawab oleh Imam Malik bahwa hal itu tidak mungkin, karena sejak Masa
Khalifah Usman, sahabat Nabi sudah tersebar ke berbagai kota dan masing-masing
mengembangkan ijtihad dan berfatwa. Kemudian Imam Malik pun mengarang kitab
kumpulan fatwa-fatwa sahabat, yaitu : Syada’id
Abdullah bin Umar (Pendapat-pendapat Abdullah bin Umar yang keras), Rukhas Abdullah bin Abbas (Pendapat-pendapat Abdullah bin Abbas yang
ringan) dan Shawazh Abdullah Ibnu Mas’ud (Pendapat-pendapat Abdullah
bin Mas’ud).
Metode Ijtihad Imam
Malik bin Anas :
- Al-Qur’an
- Hadits
(termasuk hadits dhaif yang diamalkan penduduk Madinah).
- Ijma’
- Atsar
yang diamalkan penduduk Madinah.
- Qiyas
- Mashlahah
Mursalah (keluar dari Qiyas umum karena alasan mencari maslahat)
- Perkataan
Sahabat.
Bila dibandingkan dengan Imam Abu Hanifah (aliran Kufah), mazhab Imam Malik
mewakili aliran Hijaz lebih banyak berdasarkan hadits dan atsar, lebih sedikit
menggunakan porsi dengan ra’yu (Qiyas).
Kitab Kitab Mazhab Maliki :
1. Kitab Hadits, Al
Muwatta’.
2. Syada’id
Abdullah bin Umar (Pendapat-pendapat Abdullah bin Umar yang keras)
3. Rukhas Abdullah
bin Abbas (Pendapat-pendapat Abdullah bin Abbas yang ringan)
4. Shawazh
Abdullah Ibnu Mas’ud (Pendapat-pendapat Abdullah bin Mas’ud).
Imam
Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (150-204 H)
Seorang pemuda Quraisy
yang nasabnya bertemu dengan nasab Rasulullah pada Abdu Manaf, kakek generasi
keempat diatas Rasulullah. Beliau lahir di Ghaza, Palestina (riwayat lain lahir
di Asqalan, perbatasan dengan Mesir) pada tahun 150 H, pada tahun yang sama
dengan meninggalnya Imam Abu Hanifah. Beliau dilahirkan dalam
keadaan yatim, diasuh dan dibesarkan oleh ibunya dalam kondisi serba kekurangan
(miskin).
Beliau dikenal sebagai
murid yang sangat cerdas. Pada usia tujuh tahun sudah dapat menghafal
Al-Qur’an. Kemudian beliau pergi ke kampung Bani Huzail untuk mempelajari
sastra Arab dari Bani Huzail yang dikenal halus bahasanya. Sampai suatu ketika
beliau bertemu dengan Muslim bin Khalid Az Zanji yang menyarankan agar beliau
mempelajari fiqih.
Imam Syafi’i kemudian
berguru kepada Imam Muslim bin Khalid Az Zanji (mufti Mekkah). Pada usia 10
tahun Imam Syafi’I sudah hafal kitab Al-Muwatta’ karya imam Malik. Pada usia 13
tahun bacaan Al-Qur’an imam Syafi’i yang sangat merdu mampu membuat
pendengarnya menangis tersedu-sedu. Pada usia 15 tahun beliau diijinkan oelh
gurunya untuk memberi fatwa di Masjidil Haram.
Ketika berumur 20 tahun
Imam Syafi’i ingin berguru langsung kepada Imam Malik bin Anas, pengarang kitab
Al Muwatta’ di Madinah. Niat itu didukung oleh gurunya
dan didukung juga oleh gubernur Mekkah yang membuatkan surat pengantar untuk gubernur Madinah meminta
dukungan bagi keperluan Imam Syafi’i dalam belajar kepada Imam Malik di
Madinah.
Dengan diantar gubernur
Madinah, Imam Syafi’i mendatangi rumah Imam Malik. Mula-mula Imam Malik kurang
suka dengan adanya surat pengantar dalam urusan
menuntut ilmu. Tapi setelah pemuda Syafi’i bicara dan mengemukakan keinginannya
yang kuat untuk belajar, apalagi setelah mengetahui bahwa pemuda Syafi’i telah
hafal Al-Qur’an dan hafal kitab Al Muwatta’ karangannya, maka Imam Malik
menjadi kagum dan akhrinya menerimanya menjadi muridnya.
Imam Syafi’i kemudian menjadi murid kesayangannya dan tinggal di rumah Imam Malik. Imam
Syafi’i juga dipercaya mewakili Imam Malik membacakan kitab Al-Muwatta’ kepada
jamaah pengajian Imam Malik. Sekitar satu tahun Imam Syafi’i tinggal bersama
Imam Malik bin Anas, hingga akhirnya Imam Syafi’i ingin pergi ke Irak, untuk
mempelajari fiqih dari penduduk Irak, yaitu murid-murid Imam Abu Hanifah. Imam
Malik pun mengijinkan dan memberikan uang saku sebesar 50 dinar.
Sesampai di Irak, imam
Syafi’i menjadi tamu Imam Muhammad Al Hasan (murid Abu Imam Abu Hanifah).
Beliau banyak berdiskusi dan mempelajari kitab-kitab mazhab Hanafi yang
dikarang oleh Muhammad Al Hasan dan Abu Yusuf. Setelah sekitar dua tahun
berdiam di Irak, Imam Syafi’i meneruskan pengembaraan ke Persia, Anatolia, Hirah, Palestina, Ramlah. Di
setiap kota yang dikunjungi Imam
Syafi’i mengunjungi ulama-ulama setempat, melakukan diskusi mempelajari ilmu
dari mereka dan mempelajari adat-istiadat budaya setempat. Setelah bermukim 2
tahun di Irak dan 2 tahun mengembara berkeliling ke negeri negeri Islam
akhirnya Imam Syafi’i kembali ke Madinah dan disambut penuh haru oleh gurunya
yaitu Imam Malik bin Anas. Kemudian Imam Syafi’i selama empat tahun lebih
tinggal di rumah Imam Malik dan membantu gurunya dalam mengajar, sampai
meninggalnya Imam Malik pada tahun 179 H.
Sepeninggal Imam Malik,
ketika itu beliau berusia 29 tahun, maka tidak ada lagi orang yang membantu
keperluan beliau. Atas pertolongan Allah pada tahun itu juga datang wali negeri
Yaman ke Madinah yang mengetahui bahwa Imam Malik bin Anas telah wafat dan
mengetahui tentang salah seorang muridnya yang cerdas dan ahli yaitu Imam
Syafi’i. Wali Negeri Yaman mengajak Imam Syafi’i ikut ke Yaman untuk menjadi
sekertaris dan penulis istimewanya. Di Yaman beliau menikah dengan Hamidah
binti Nafi (cucu Usman bin Affan) dan dikaruniai seorang putra dan dua orang
putri.
Di Yaman Imam Syafi’i
juga masih terus belajar, terutama kepada Imam Yahya bin Hasan. Disana beliau
juga banyak mempelajari ilmu firasat yang pada saat itu sedang marak
dipelajari.
Pada waktu itu Yaman
merupakan salah satu pusat pergerakan kaum Alawiyin yang berusaha memberontak
terhadap kekuasaan Bani Abbas. Berdasarkan laporan mata-mata Khalifah maka
beberapa tokoh orang-orang Alawiyin dan termasuk juga Imam Syafi’i ditangkap
dan dibawa ke Baghdad untuk diinterogasi oleh
Khalifah Harun Al Rasyid.
Setelah diinterogasi dan
berdialog dengan Khalifah Harun Al Rasyid, beliau dibebaskan dari segala
tuduhan, sedangkan semua orang-orang Alawiyin dibunuh oleh Khalifah. Setelah
bebas dibebaskan, Imam Syafi’i sempat beberapa lama tinggal di Baghdad dan menuliskan fatwa-fatwa qaul qadim (pendapat lama) nya. Selama di Baghdad ini
pula pemuda Ahmad bin Hanbal berguru kepada beliau mempelajari
fiqih.
Pada sekitar tahun 200
H, Abbas bin Abdullah diangkat menjadi gubernur Mesir. Gubernur Mesir yang baru
tersebut mengajak Imam Syafi’i ikut ke Mesir untuk dijadikan Qadly sekaligus
mufti di Mesir. Maka akhirnya Imam Syafi’I tinggal di Mesir bersama sang
Gubernur.
Setibanya di Mesir, Imam
Laits bin Sa’ad mufti Mesir telah meninggal, maka
beliau mempelajari fiqih Imam Laits melalui murid-muridnya. Di Mesir inilah
beliau menuliskan fatwa-fatwa qaul jadid (pendapat baru) nya. Imam Syafi’i terus mengajar dan menjadi mufti,
memberikan fatwa-fatwa di Masjid ‘Amr bin Ash sampai wafatnya.
Metode Ijtihad Imam
Syafi’i :
1. Al-Qur’an
2. Hadis
3. Ijma’
4. Qiyas
5. Istidlal
Imam Syafi’i adalah orang pertama yang menyusun sistematika, perumus dan
yang mengkodifikasikan ilamu Ushul Fiqih, melalui kitabnya Ar Risalah. Beliau menerangkan cara-cara istinbath (pengambilan hukum) dari Al-Qur’an
dan Hadist, menerangkan mukashis nash yang mujmal, menerangkan cara
mengkompromikan dan men tarjih nash-nash yang secara zahirnya saling
bertentangan, menerangkan kehujahan Ijma’, qiyas dsb. Imam Syafi’i Juga
melakukan penilaian terhadap metode ihtihsan Imam Abu Hanifah, metode maslahah
mursalah dan praktek penduduk Madinah yang dipakai oleh Imam Malik.
Kitab-kitab mazhab
Syafi’i :
1. Ar Risalah, kitab pertama yang menguraikan tentang ilmu Ushul Fiqih.
2. Al ‘Um (kitab induk), berisi pembahasan berbagai masalah fiqih.
3. Jami’ul Ilmi.
4. Ibthalul-Istihsan, berisi penilaian terhadap metode Istihsan.
5. Ar-Raddu ‘ala Muhammad ibn Hasan, berisi mudhabarah, diskusi dan bantahan
terhadap pendapat Muhammad ibn Hasan, murid utama Imam Abu Hanifah.
6. Siyarul Auza’y, berisi pembelaan terhadap Imam Al-Auza’y.
7. Mukhtaliful Hadits, berisi cara mengkompromikan hadits-hadits yang secara
zahir saling bertentangan.
8. Musnad Imam Syafi’i, berisi kumpulan hadits yang diterima dan diriwayatkan
oleh Imam Syafi’i.
Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H)
Lahir di kota Baghdad pada tahun 164 H.
Ayahnya meninggal ketika beliau masih anak-anak dan kemudian dibesarkan dan
diasuh oleh ibunya. Kota Baghdad pada waktu itu merupakan ibukota Kekhalifahan
Bani Abbas dan merupakan gudangnya para ulama dan ilmuwan. Imam Ahmad bin Hanbal
banyak berguru pada ulama-ulama di kota kelahirannya tersebut.
Ketika berumur 16 tahun,
pemuda Ahmad bin Hanbal pergi mengembara menuntut ilmu, terutama berburu
hadits-hadits Nabi sampai ke Kufah, Basrah, Syria, Yaman, Mekkah dan Madinah.
Mengenai gurunya ada
puluhan orang yang semuanya adalah ulama-ulama dalam berbagai bidang ilmu.
Diantara gurunya adalah Sufyan bin Uyainah, Abu Yusuf Al Qadhy dan Imam
Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i.
Imam Hanbali dikenal
sangat gemar dan bersemangat menuntut ilmu, berburu hadits, ahli ibadah, wara’
dan zuhud. Imam Abu Zu’rah mengatakan : “Imam Ahmad bin Hanbal hafal lebih dari
1.000.000 (satu juta) hadits”. Sementara anaknya Abdullah bin Ahmad bin Hanbal
mengatakan : “Ayahku telah menuliskan 10.000.000 hadits banyaknya dan tidaklah
beliau mencatatnya hitam diatas putih, melainkan telah dihafalnya diluar
kepala”.
Ketika pemerintahan ada ditangan Khalifah Al Ma’mun, saat itu kaum
Mu’tazilah berhasil mempengaruhi Khalifah untuk mendukung pemikiran mereka dan
mempropagandakan pendapat bahwa Al-Qur’an adalah mahkluk. Kaum Mu’tazilah yang
didukung penuh oleh Khalifah Al-Ma’mun memaksakan pendapat itu kepada seluruh
rakyat.
Para Ulama yang tidak sependapat ditangkap dan diinterogasi ke istana.
Hampir semua ulama tidak berani menentang karena takut dihukum berat.
Satu-satunya ulama yang tetap istiqomah menentang pendapat bahwa Al-Qur’an
adalah makhluk hanyalah Imam Ahmad bin Hanbal. Akibatnya beliau disiksa,
dipukuli dan hampir saja dibunuh. Rupanya Allah menyelamatkan beliau karena
tiba-tiba Khalifah Al Ma’mun meninggal secara mendadak di Tharsus, sehingga
eksekusi hukuman mati kepada Imam Ahmad bin Hanbal tidak sampai dilaksanakan.
Sepeninggal Al Ma’mun, dua orang Khalifah penggantinya yaitu Al Muntashir
dan Al-Watsiq masih meneruskan kebijaksanaan mendukung kaum Mu’tazilah dan
progandanya bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Selama itu Imam Ahmad bin Hanbal
hidup dalam persembunyian dan mengasingkan diri.
Setelah Al-Watsiq, yang naik tahta adalah Khalifah Al-Mutawakil. Pada masa
Al-Mutawakil inilah propaganda bahwa Al-Qur’an adalah makhluk dihentikan sama
sekali. Bahkan Khalifah menangkapi dan menghukum ulama-ulama Mu’tazilah yang
dahulu menjadi pelopor utama propaganda kemakhlukan Al-Qur’an.
Khalifah Al Mutawakil sangat menghormati dan memuliakan Imam Ahmad bin
Hanbal. Beliau dijadikan penasehat resmi istana, dan Khalifah mendukung penuh
ajaran-ajaran Imam Ahmad bin Hanbal dan para ahli hadits.
Metode Ijtihad Imam Ahmad bin Hanbal :
1. Al-Qur’an
2. Hadits
3. Ijma’ Sahabat
4. Fatwa Sahabat
5. Atsar Tabi’in
6. Hadits Mursal / Dhaif
7. Qiyas
Metode istinbath Imam Ahmad bin Hanbal lebih banyak menyandarkan pada
hadits dan atsar dari pada menggunakan ra’yu (ijtihad). Beliau lebih menyukai
berhujjah dengan hadis dhaif untuk masalah furu’iyah daripada menggunakan
Qiyas.
Kitab-kitab mazhab Hanbali :
- Tafsir
Al-Qur’an.
- Musnad
Imam Ahmad, sebuah kitab kumpulan hadits yang tebal.
- Kitab
Nasikh wal Mansukh.
- AL
Muqaddam wal Muakhkhar fil Qur’an.
- Jawabatul
Qur’an.
- Kitab
At Tarikh.
- Al
Manasikul Kabir.
- Al
Manasikus Saghir.
- Tha’atur
Rasul.
10. Al-‘Illah.
11. Kitab Zuhud.
12. Kitab Ash Shalah.
III. Ijtihad
Ijtihad adalah mempergunakan segala
kesanggupan untuk mengeluarkan (istinbath) hukum syara’ dari sumbernya
(Al-Qur’an dan Hadits).
A. Aliran Hadits / Atsar
Para ulama hijaz (Mekkah-Madinah) yang
dipelopori oleh Said Al Musayyab dalam ber ijtihad lebih banyak bersandar
kepada hadits dan atsar sahabat. Kelompok Hijaz ini banyak jarang menggunakan
ra’yu (qiyas) dalam metode ijtihadnya, dengan latar belakang sebagai berikut :
1. Penduduk Hijaz mewarisi
kekayaan hadits dan atsar dari para Sahabat Nabi yang banyak tinggal di Hijaz,
seperti ketetapan Abu Bakar, Umar, Usman, juga fatwa-fatwa
dari : Zaid bin Tsabit, Aisyah dan riwayat dari Abu Hurairah, Abu Said Al
Kudry, dll.
2. Negeri Hijaz yang berada
di pedalaman semenanjung Arabia, relatif tidak banyak mengalami
dinamika perubahan sosial.
3. Banyaknya Hadits dan
atsar yang mereka terima dan ditunjang oleh dinamika sosial yang lebih statis
menyebabkan mereka kurang menggunakan daya analisis. Ulama Hijaz lebih
mencukupkan diri dengan memegangi teks-literalis nash.
4. Mengikuti guru mereka, yaitu
Abdullah bin Umar yang sangat tergantung pada hadits dan atsar dan sangat
hati-hati dalam menggunakan ra’yu (qiyas).
B. Aliran Ra’yu
Setelah terbunuhnya Khalifah Usman, kemudian berlanjut dengan perang Jamal
yang menuntut balas atas darah Usman. Muawiyah tidak mengakui kekhalifahan Ali
bin Abi Thalib sehingga meletus perang Shiffin. Setelah peristiwa tahkim muncul
kaum Khawarij dan kelompok Syiah. Kericuhan itu terus berlanjut sampai
terbunuhnya Khalifah Ali bin Abi Thalib. Setelah itu Bani Umayyah menguasai
pemerintahan dengan cara paksa.
Kelompok Khawarij, Syiah dan Bani Umayyah satu sama lain saling bermusuhan
dan saling menumpahkan darah. Sejak itu mulai timbul hadits-hadits palsu yang
dibuat untuk memperkuat kelompoknya masing-masing. Kelompok Syiah Rafidah yang
bermarkas di Kufah dikenal paling banyak membuat Hadits palsu. Dengan latar
belakang tersebut selanjutnya para ulama Kufah sangat hati-hati dalam menerima
periwayatan hadits.
Para Ulama Kufah (Iraq) yang dipelopori oleh Ibrahim An Nakhay dalam
ijtihadnya menggunakan ra’yu (qiyas) dengan porsi yang lebih besar daripada
ulama Hijaz. Hal itu dilatar belakangi oleh hal-hal sebagai berikut :
- Para
Sahabat Nabi yang tinggal di Kufah tidak sebanyak yang tinggal di Hijaz,
sehingga kekayaan hadits dan atsar yang mereka terima tidak sebanyak yang
diterima penduduk Hijaz. Penduduk Kufah menerima hadits dari : Ibnu
Mas’ud, Sa’ad bin Abi Waqash, Ali bin Abi Thalib, Amar bin Yasir, Abu Musa
Al-Asy’ari, Mughirah bin Sub’ah, Anas bin Malik, Hudzaifah bin Al Yaman.
- Di
Kufah mulai marak para pemalsu hadits, terutama dari kelompok Syiah
Rafidah, sehingga Ulama Kufah lebih hati-hati dan lebih selektif dalam
menerima hadits.
- Kufah
adalah kota yang lebih ramai dibanding
Hijaz, berdekatan dengan wilayah Persia yang sebelum memeluk agama
Islam, penduduknya sudah mempunyai peradaban dan cara berpikir yang maju
(rasional). Disamping itu di Kufah merupakan pusat pergerakan kaum Syiah
dan Khawarij. Jadi di Kufah mengalami dinamika perubahan sosial yang lebih
tinggi yang menuntut pemikiran daripada sekedar mengandalkan teks hadits
yang diterima dari riwayat sahabat di masa Nabi.
- Menurut
Ulama Kufah hukum syariat memiliki makna logis, mencakup seluruh
kemaslahatan umat, didasarkan pada pokok-pokok yang muhkam (jelas dan
dapat dipahami) dan mengandung alasan-alasan yang tepat bagi hukum. Mereka
berusaha meneliti alasan-alasan dari setiap penetapan hukum dan menggali
hikmah yang terkandung didalamnya (qarinah dan maqashid syari’ah), serta
menjadikan hukum itu sejalan dengan himah yang didapat. Kadang-kadang
mereka menolak sebagian hadits ahad karena dianggap bertentangan dengan
hikmah persyaratannya. Apalagi bila mereka mendapatkan hadits/atsar yang
bertentangan dengan hikmah pen syari’atannya.
- Ulama
Kufah mengikuti metode ijtihad guru mereka dari sahabat Nabi Abdullah bin
Mas’ud yang dikenal mengikuti Umar bin Khattab yang
banyak menggunakan daya analitis memperhatikan qarinah, maqashid syari’ah
dan pertimbangan kemaslahatan.
Gambaran perbedaan paham antara ahli qiyas dan ahli hadits :
Pada suatu hari Rabi’ah (ahli qiyas) bertanya kepada Said Al Musayyab (ahli
hadits) tentang diyat (denda) anak jari perempuan yang terpotong :
Rabi’ah :”Berapa diyat terhadap sebuah anak jari orang perempuan ?”
Said Al Musayyab: “10 ekor onta”.
Rabi’ah : Jika dua anak jari ?”
Said Al Musayyab : “20 ekor onta”
Rabi’ah : “Jika tiga anak jari ?”
Said Al Musayyab :”30 ekor onta”.
Rabi’ah : “Jika empat anak jari ?”
Said Al Musayyab : “20 ekor onta”
Rabi’ah : ”Apakah makin banyak jari yang terpotong, semakin besar diyatnya
?”
Said Al Musayyab : “Apakah anda bermazhab ulama Iraq ? itulah sunnah saya telah terangkan”.
Demikianlah ahli hadits hanya menerima mentah-mentah teks hadits, sedangkan
ahli ra’yu tidak begitu saja menerima teks hadits yang tidak diketahui
illlat-illat hukumnya atau yang tidak logis menurut akal. Bagaimana diyat empat
anak jari malah turun menjadi 20 ekor, padahal diyat satu anak jari sampai
tigak anak jari naik terus dari 10 sampai 30 ekor.
Pada suatu hari Al Auza’i bertemu dengan Abu Hanifah di Mekkah, kemudian Al
Auza’i bertanya kepada Abu Hanifah :
Al Auza’i : “Mengapa tuan tidak mengangkat tangan ketika ruku’ dan I’tidal
?”
Abu Hanifah : “Karena tidak ada hadits yang shahih dari Rasul”.
Al Auza’i : “Az Zuhri telah meriwayatkan kepada saya dari Salim, dari
ayahnya Abdullah bin Umar, dari Rasulullah SAW, bahwasanya Nabi ada mengangkat
tangan saat memulai shalat, saat ruku’ dan ketika I’tidal”.
Abu Hanifah : “Telah diriwayatkan kepada kami oleh Hammad bin Sulaiman dari
Alqamah dari Al Aswad dari Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah tidak mengangkat tangan
selain dari saat memulai shalat saja”.
Al Auza’i : “Saya kemukakan penilaian tentang Az Zuhri dan anda kemukakan
penilaian tentang Hammad”.
Abu Hanifah : “Hammad lebih pandai dalam urusan fiqih daripada Az Zuhri.
Ibrahim lebih pandai dari Salim, Alqamah tidak kurang derajadnya daripada
Abdullah, walaupun seorang Shahabi”.
Mendengar jawaban itu, Al Auza’i pun minta diri. Dari situ tampak bagaimana
Abu hanifah sebagai tokoh ahli qiyas lebih mengutamakan
kefaqihan perawi daripada ketinggian sanad.
Demikianlah beberapa
contoh perbedaan paham antara ahli hadits dan ahli ra’yu.
C. Aliran zahiri
Dipelopori oleh Daud bin Ali Al-Zhahiri (202-268 H), yang hanya memegangi
makna zhahir (tekstualis-literalis) nash Al-Qur’an dan Hadits tanpa mau
memegangi makna lainnya.
Kalau digambarkan secara kualitatif metode para imam mazhab dalam
menggunakan metode istinbath Hadist-tekstualis dan Qiyas-rasionalis kurang
lebih seperti dibawah ini :
Hadits Qiyas
Tekstualis Daud bin Ali (Zahiri) - Hanbali – Maliki – Syafi’i -
Hanafi Rasionalis
D. Sumber Perbedaan Pendapat
Bagi yang sudah membaca Ushul Tafsir dan Ilmu Hadits disitu ada beberapa
ulasan tentang Al-Qur’an dan Hadits yang diantaranya menjadi sumber perbedaan
pendapat diantara para ulama Mujtahid. Sumber perbedaan pendapat didalam Fiqih
:
1. Perbedaan memahami Al-Qur’an
A. Adanya ayat-ayat yang musytarak (lebih dari dua arti).
B. Adanya ayat-ayat yang masih mujmal (global).
C. Adanya ayat-ayat yang ‘Am (umum)
D. Adanya perbedaan penafsiran cakupan lafazh.
E. Adanya perbedaan penafsiran makna hakiki-majasi.
F. Adanya perbedaan pendapat penggunaan mafhum.
G. Perbedaan pendapat memahami ayat perintah dan larangan.
2. Perbedaan Memahami Hadits
A. Perbedaan penilaian kesahihan sebuah hadits ahad.
B. Perbedaan penilaian ke-tsiqoh-an seorang rawi.
C. Perbedaan sampainya hadits kepada para Mujtahid.
D. Perbedaan penafsiran matan (redaksi) suatu hadits.
E. Perbedaan penerimaan hadits dhaif sebagai hujjah.
F. Perbedaan perimaan
hadits yang ada mukhtalif (pertentangan) dengan qiyas dan atau illat syari’ah
3. Perbedaan Metode Ijtihad.
A. Imam Abu Hanifah :
a. Berpegang pada dalalatul
Qur’an
i. Menolak mafhum
mukhalafah
ii. Lafz umum itu statusnya
Qat’i selama belum ditakshiskan
iii. Qiraat Syazzah (bacaan
Qur’an yang tidak mutawatir) dapat dijadikan dalil
b. Berpegang pada hadis
Nabi
i. Hanya menerima hadis
mutawatir dan masyhur (menolak hadis ahad kecuali diriwayatkan oleh ahli fiqh)
ii. Tidak hanya berpegang
pada sanad hadis, tetapi juga melihat matan-nya
c. Berpegang pada qaulus
shahabi (ucapan atau fatwa sahabat)
d. Berpegang pada Qiyas
i. mendahulukan Qiyas dari hadis ahad
e. Berpegang pada istihsan
(keluar dari Qiyas umum karena ada sebab khusus yang lebih kuat).
B. Imam Malik
a. Nash (Kitabullah dan Sunnah yang mutawatir)
i. zhahir Nash
ii. menerima mafhum
mukhalafah
b. Berpegang pada amal perbuatan penduduk Madinah
c. Berpegang pada Hadis ahad (jadi, beliau mendahulukan amal penduduk
Madinah daripada hadis ahad)
d. Qaul shahabi
e. Qiyas
f. Istihsan
g. Mashlahah al-Mursalah
(mempertimbangkan aspek kemaslahatan, contoh beliau membolehkan intimidasi
dalam penyidikan tersangka kejahatan untuk mendapatkan pengakuannya).
C. Imam Syafi’i
a. Qur’an dan Sunnah
(artinya, beliau menaruh kedudukan Qur’an dan Sunnah secara sejajar, karena
baginya Sunnah itu merupakan wahyu ghairu matluw). Inilah salah satu alasan
yang membuat Syafi’i digelari “Nashirus Sunnah”. Konsekuensinya, menurut
Syafi’i, hukum dalam teks hadis boleh jadi menasakh hukum dalam teks Al-Qur’an
dalam kasus tertentu)
b. Ijma’
c. hadis ahad (jadi, Imam
Syafi’i lebih mendahulukan ijma’ daripada hadis ahad)
d. Qiyas (berbeda dg Imam
Abu Hanifah, Imam Syafi’i mendahulukan hadis ahad daripada Qiyas)
e. Beliau tidak menggunakan
fatwa sahabat, istihsan dan amal penduduk Madinah sebagai dasar ijtihadnya
D. Imam Ahmad bin Hanbal
a. An-Nushush (yaitu Qur’an
dan hadis. Artinya, beliau mengikuti Imam Syafi’i yang tidak menaruh Hadis dibawah
al-Qur’an)
menolak ijma’ yang berlawanan dengan hadis Ahad (kebalikan dari Imam
Syafi’i)
menolak Qiyas yang berlawanan dengan hadis ahad (kebalikan dari Imam Abu
Hanifah)
b. Berpegang pada Qaulus
shahabi (fatwa sahabat)
c. Ijma’
d. Hadis dhaif
e. Qiyas